Tanggal 21 Juni 2023, aku diminta untuk menemani 2 orang tamu yang berkunjung di kampus STT SAAT. Memori ini tersimpan rapi di highlight Instagram-ku. Setelah berkeliling kampus dan menjelaskan berbagai sudut kampus SAAT, salah satu orang tiba-tiba bertanya kepadaku demikian, “Bim, pernah kepikiran nyesel masuk SAAT?” Tidak berhenti di situ, orang ini melanjutkan, “Masuk SAAT sih nggak salah, tapi mungkin kamunya yang salah nangkap panggilan Tuhan.”
“Wow, what a question!” Tulisku dalam story Instagram yang aku bagikan 2 tahun lalu. Apa jawabku saat itu? “Untungnya udah aku gumulin pertanyaan ini jauh-jauh hari. Well, aku jelasin intinya masuk SAAT ga pernah nyesel dan ngrasa salah. Tantangan tentu ada tapi ga sampe meragukan kalo aku salah nangkep panggilan Tuhan atau nyesel masuk SAAT.”
Fast forward 2 tahun kemudian, aku sudah lulus dan ada di ladang pelayanan. Aku kembali memikirkan dengan serius jawabanku dulu ketika masih mahasiswa. “Apa bener aku nggak salah menangkap panggilan Tuhan? Gimana kalo beneran salah?” Loh-loh kok sekarang malah aku jadi tidak yakin?
Sejujurnya, aku sudah meragukan keabsahan jawabanku dulu. Setelah hampir 2 tahun ada di ladang pelayanan, cara pikir dan pengalaman hidupku berubah dan bertambah. Aku bukan lagi mahasiswa SAAT yang hidup di asrama, aku sudah menjadi seorang rohaniwan di ladang pelayanan. Aku berusaha tidak naif, aku mulai meragukan panggilan Tuhan.
Keraguan seorang pelayan Tuhan
Pelayanan di ladang pelayanan jauh berbeda dari kehidupan asrama di kampus SAAT. Di kampus, aku tidak banyak mengambil keputusan krusial dalam hidup. Banyak pilihan itu sudah diwakilkan untuk dipilihkan oleh orang lain. Misalnya, mata kuliah apa yang harus aku ambil, tempat praktik, dan jadwal kegiatan harian.
Sedangkan di ladang pelayanan yang terpisah dari status “mahasiswa SAAT” menawarkan kondisi kehidupan yang berbeda. Aku diharuskan memilih buat diriku sendiri, bahkan untuk orang lain. Menjadi seorang rohaniwan berarti aku ada di posisi memimpin jemaat Tuhan. Setidaknya, dalam konteks pelayananku, itu berarti memimpin lebih dari 400 orang siswa dan guru di sebuah institusi pendidikan.
Sebuah tanggung jawab yang menguras tenaga dan emosi. Dalam kondisi-kondisi ini, aku bertanya kepada Tuhan, “Apa aku benar dipanggil untuk pelayanan yang sedemikian sulit?” Sekali lagi, aku tidak naif, aku meragukan panggilan Tuhan.
Fast forward, bulan September 2025 aku pergi ke kampus SAAT untuk wisuda. Momen wisuda ternyata merupakan agenda tersembunyi Allah Trinitas untuk menguatkan salah seorang hamba-Nya. Dalam momen singkat ini, Allah menyingkapkan beberapa hal berharga tentang pertanyaan yang aku gumulkan ini. Setidaknya ada 3 hal yang aku dapat simpulkan dari perenunganku akan pertanyaan, “Bagaimana jika aku salah menangkap panggilan Tuhan?”
Meragulah dengan tenang, sebab Allah tetap bersama-Mu
Satu hal yang pasti dalam pengalaman keraguanku adalah kesetiaan Allah di dalam hidupku. He is not leaving you alone. Jika aku bisa menulis tulisan ini, niscaya itu semata-mata karena Yesus Kristus tidak beralih sejengkal pun dari si hamba yang tidak berguna ini.
Ketika aku meragu, Allah selalu memberikan anugerah-Nya yang tak terduga. Tulisanku yang sudah dimuat di WarungSateKaMu adalah salah satu buktinya. Ia menyapa dan menguatkanku melalui pembacaan firman yang aku lakukan sehari-hari. Ia juga menyapaku melalui para siswa yang datang ke ruang gembala di SMP Kr. Eben Haezar 2 dengan berbagai “gebrakan” yang mereka lakukan.
Maka, aku sadar, jika dalam keraguan Allah tidak meninggalkanku, bukankah Ia ingin berkata, “Meragulah dengan tenang”? Artinya, keraguan adalah respons wajar seorang anak muda yang sedang berusaha memahami kehidupannya yang beranjak dewasa. Pergumulan ini benar-benar nyata dan Allah ingin kita tahu bahwa Dia pun merangkul kita dalam keraguan (baca: kelemahan) kita.
Tetapi ia sendiri masuk ke padang gurun sehari perjalanan jauhnya, lalu duduk di bawah sebuah pohon arar. Kemudian ia ingin mati, katanya: "Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku."
1 Raja-raja 19:4
Ingat kisah nabi Elia? Setelah melawan nabi-nabi Baal, Elia dipertemukan dengan kenyataan pahit pelayanannya. Saat itu, Elia hanya ingin mati. Ia tidak mau melanjutkan pelayanannya. Ia meragukan panggilannya. Namun, apa yang dilakukan Tuhan kepada hamba yang ingin mundur dari pelayanan? Alkitab mencatat, “Bangunlah, makanlah!” (1Raj. 19:5). Allah malah memberi Elia makan!
Aku bukan sedang menganjurkan kita untuk hidup dalam keragu-raguan. Bukan juga untuk hidup dalam kekhawatiran. Melainkan, merangkul keraguan dalam iman sehingga kita bisa mengarahkan pandangan pada Allah. Seringkali keraguan membawa kita keluar dari pengharapan kepada Allah. Sebaliknya, “meragu dengan tenang” mengajak kita untuk merangkul keraguan dalam iman kepada Allah yang telah memanggil kita dalam pelayanan ilahi.
Keraguan muncul dalam pergumulan yang berat
Aku menyadari bahwa tanggung jawab pelayanan di tempat pelayananku saat ini merupakan tanggung jawab yang besar. Melayani dan menggembalakan banyak orang dalam lingkungan pastoral yang aku layani saat ini menuntut emosi dan tenaga yang ekstra. Belum lagi, aku juga bergumul dengan diriku sendiri.
Ada doa yang belum terjawab, ada keinginan yang hendak aku capai, dan ada berbagai tantangan hidup yang belum bisa aku selesaikan. Semua keadaan ini membuatku seumpama berjalan di tengah hutan tanpa kompas. Aku kehilangan arah. Momen-momen inilah yang membawaku pada krisis eksistensial tentang panggilan Allah.
Mungkin, bagi kamu yang sedang studi, itu berarti hidup lagi padat-padatnya dengan tugas. Atau tugas pelayanan yang tidak sesuai dengan minatmu. Mungkin, berkaitan dengan teman-teman yang tidak sepaham dan berkonflik denganmu. Semuanya membuatmu struggle a lot.
Maka, sebenarnya pertanyaan tentang panggilan Tuhan tidak berkaitan dengan panggilanmu. Melainkan itu respons dari kehidupanmu yang sedang tidak baik-baik saja. Kita sedang bergumul berat dalam momen-momen tertentu dalam hidup yang membawa kita pada krisis eksistensial.
Lalu atas penentuan TUHAN Allah tumbuhlah sebatang pohon jarak melampaui kepala Yunus untuk menaunginya, agar ia terhibur dari pada kekesalahn hatinya. Yunus sangat bersukacita karena pohon jarak itu.
Yunus 4:6
Jika demikian, yang seharusnya dilakukan adalah rehat sejenak, bukan mundur dari panggilan Tuhan. Sebagaimana aku merasakan refreshment di kampus SAAT, mungkin yang kamu perlu lakukan sekarang adalah istirahat. Yuk evaluasi, kapan terakhir kamu tidur dengan tenang? Kapan terakhir kali kamu makan makanan yang kamu sukai? Don’t push yourself too hard. Tuhan sayang hamba-Nya, kamu juga sayang dirimu ya!
Ingat kisah Yunus? Kalau Tuhan tidak peduli sama hamba-Nya, untuk apa ada pasal 4? Setelah melayani Niniwe, Allah “melayani” hamba-Nya. Ia peduli dengan Yunus. Ia peduli juga denganmu.
Kamu tidak salah menangkap panggilan Tuhan, mungkin kamu sedang capek dengan adaptasi di kampus yang baru. Kamu sedang lelah dengan berbagai tugas sebagai seorang mahasiswa seminari. Kamu sedang bad mood dengan orang yang ada di sekitarmu. Jadi, rehatlah sejenak, jangan paksakan dirimu terlalu keras.
Passion yang mati
Keraguan muncul karena kita tidak sedang melakukan sesuatu yang bermakna buat diri kita. Passion yang membakar diri kita itu hilang dimakan kegiatan rutin yang sehari-hari kita lakukan. Kegiatan yang berulang-ulang itu membuat kita bosan dan akhirnya bertanya, “Apakah Allah benar-benar memanggilku dalam pelayanan ini?”
Maka, dalam perenunganku, penting bagi kita untuk terus melakukan hal-hal yang membakar semangat kita. Coba bertanya, “Apa kegiatan yang begitu kita sukai sehingga kita rela melakukan apa pun untuknya dan berakhir dengan sukacita?” Bagiku, kegiatan itu adalah mengajar.
Selain itu, terhubunglah dengan orang lain. Kehadiran orang yang kita layani dalam hidup kita akan menyadarkan kita bahwa pelayanan yang Allah percayakan bukan sesuatu yang mati, melainkan hidup.
Penutup: Jika kamu benar-benar merasa salah dalam panggilan Tuhan
Jika pada akhirnya nyata bahwa kamu salah menangkap panggilan Tuhan, maka beralihlah ke panggilan yang kamu anggap terpanggil di dalamnya. Sebab, bukankah semua panggilan sama saja? Asalkan dilakukan untuk melayani Allah dan menyatakan kemuliaan Allah.
Berdoalah dan tanyakan kembali kepada Tuhan apa yang sebenarnya harus aku ambil dalam hidup ini? Apakah aku harus meninggalkan sekolah teologi dan mengambil jurusan lain? Jangan bergumul sendirian. Tanyakan pada Tuhan, tanyakan juga pada komunitas rohanimu. Komunitas rohani akan menolong kita menavigasi berbagai pertanyaan kehidupan ini.
Tulisan ini memang aku fokuskan untuk mereka yang sedang menempuh studi teologi di STT dan yang sedang melayani sebagai hamba Tuhan. Namun, tulisan ini pun dapat berbicara dengan cara yang lain bagi kamu yang sedang kuliah nonteologi.
Sebab, pergumulan panggilan hidup adalah pergumulan lumrah di kalangan anak muda. Maka dari itu, semoga tulisan ini menolongmu dalam perjalanan hidupmu ya!