Empat setengah tahun belajar di STT SAAT, frasa “servant-leader” sudah jadi jargon sehari-hari yang aku dengar. Istilah yang secara sederhana berarti “pemimpin yang menghamba,” tetapi kompleks untuk dilakukan. Jika mau ditanya, apakah diriku memahami arti sebenarnya dari istilah itu selama empat setengah tahun menempuh studi, maka jawabanku tentu tidak!
Semakin “senior” di kampus, malah membuat diriku seperti melihat orang lain ada di bawah diriku. Semakin banyak baca buku, semakin pintar, semakin keren di mata orang lain. Tidak sadar aku mulai menempatkan diri di atas orang lain. Sikap ini sepertinya berbeda dengan jargon “servant-leader” yang empat setengah tahun belakangan menemaniku.
Ketika sudah satu setengah tahun meninggalkan kampus, aku berada di lingkungan yang berbeda: ladang pelayanan. Tepat malam ketika aku menulis tulisan ini, aku kembali merenungkan jargon itu. Apa arti sebenarnya dari “servant-leader”? Aku memahaminya dengan berbeda selama ini. Sekarang, apa artinya “servant-leader” bagi seorang mahasiswa SAAT yang segera diwisuda ini?
Perjalanan iman
Malam ini aku menyadari bahwa “servant-leader” sesederhana menjadi rekan perjalanan iman bagi orang lain. Kepemimpinan yang meghamba tidak berbicara banyak tentang diri, melainkan berbicara banyak untuk orang lain, demi membangun orang lain.
Dalam konteks pelayanan yang menjadikan aku sebagai pemimpin dengan jabatan tinggi di sekolah, aku menyadari bahwa jebakan untuk “menjadi lebih baik dari orang lain” adalah jebakan paling nyata bagi diriku. Seorang anak muda yang baru kuliah Sarjana Teologi di salah satu kampus injili yang ternama, membuatku mudah menjadi jumawa.
Sayangnya, Allah mengajarkan kepadaku sebaliknya. Bagaimana jika kepemimpinan menghamba itu bukan berbicara tentang diriku, melainkan tentang orang lain? Bagaimana jika “servant-leader” itu berbicara tentang menjadi teman seperjalanan iman dengan orang lain?
Saat ini, inilah pencerahan baru yang aku dapatkan untuk memaknai “servant-leader.” Tidak melihat diri di atas orang lain, melainkan menjadi rekan seperjalanan iman bagi orang-orang yang aku pimpin. Sesederhana itu ternyata.
Aku bukan siapa-siapa ...
Aku bukan siapa-siapa. Aku tidak lebih baik darimu. Aku memang seorang rohaniwan, tapi itu tidak berbicara banyak tentang statusku terhadap dirimu. Aku juga adalah domba-domba sesat yang perlu dituntun Sang Gembala Agung. Maka, marilah bersamaku menjalani perjalanan iman ini
Pernyataan ini membebaskanku dari menjadi “the number one person.” Aku sadar bahwa kepemimpinan Kristen yang dipercayakan kepadaku bukan kepemimpinan yang membawa aku terbang tinggi, terpisah dari pijakan umat Tuhan di bumi. Melainkan, melekat bersama mereka, aku adalah rekan seperjalanan mereka. Aku adalah sesama domba yang mengikut suara Gembala Agung.
Dunia butuh banyak orang yang tidak memimpin di atas singgasana. Melainkan, mereka yang mau turun untuk berjalan bersama dengan umat Tuhan. Sebagaimana Sang Gembala juga turun ke dunia, maka wajiblah murid-murid-Nya memimpin ala gurunya.
Mungkin, inilah artinya menjadi “hamba” dalam jargon STT SAAT itu. Menjadi rekan seperjalanan umat Tuhan. Dan jargon ini tidak terbatas pada seorang rohaniwan. Pebisnis, pelaut, komandan bataliyon, atau seorang supir transportasi daring, semua bisa menghidupi apa yang Yesus lakukan.
Sesederhana mengatakan: “Aku bukan siapa-siapa, aku hanya seorang domba yang berusaha dalam pertolongan Roh Kudus mengikuti Sang Gembala Agung.” Dari pernyataan inilah lahir sikap rendah hati yang dengan pertolongan Roh Kudus, menghancurkan tembok-tembok pemisah antara mereka yang memimpin dan dipimpin.