Salah satu pergumulanku selama studi di SAAT adalah “homesick.” Aku ingat beberapa kali aku merasakan hal ini. Ketika 2019 aku masuk SAAT, aku merasakan perasaan yang unik kala itu. Setelah berpisah dengan orang tuaku di lobi rektorat SAAT, terbesit dalam pikiranku, “Wah sekarang aku sendiri ya. Aku tidak lagi sama orang tua.” Sebuah lingkungan yang berbeda kini aku rasakan, lingkungan yang saat itu belum aku anggap sebagai “rumah.”
Fast forward ke masa-masa pandemi, aku kembali ke rumah untuk menjalani pembelajaran daring. Setelah lebih dari satu setengah tahun di rumah, aku kembali mendapati diriku “homesick” ketika balik ke kampus. Sejujurnya, memang ada perasaan senang akhirnya bisa kembali ke kampus. Namun, tetap ada yang berbeda, aku sudah tidak lagi di rumah.
Lanjut lagi ke masa Praktik Kerja Lapangan Dua Bulan di pedalaman Kalimantan Utara, membuatku “homesick.” Kala itu aku bermigrasi lagi ke konteks kehidupan yang benar-benar berbeda. Tidak ada internet, listrik yang terbatas, dan lingkungan yang jauh berbeda dari perkotaan. Jujur, aku merasa “homesick,” aku ingin kembali ke SAAT.
Yesus pernah homesick gak ya?
Pertanyaan di atas menggelitikku ketika menulis tulisan ini. Sebab, sungguh homesick adalah pengalaman yang lumrah ditemui pada kalangan anak muda yang hendak menjalani studi kuliah. Perasaan homesick ini pun tidak terbatas pada mereka yang kuliah teologi di seminari, melainkan juga dengan mereka yang kuliah di jurusan lain atau sedang magang di kota lain.
Namun, mungkin bagi mereka yang adalah seminarian, perasaan ini jauh lebih kuat karena diperhadapkan dengan lingkungan asrama yang jauh berbeda. Setidaknya bagiku yang adalah alumni SAAT, asrama di kampus memang sungguh berbeda dari kebiasaan yang biasanya aku lakukan di rumah. Belum lagi berbagai praktik pelayanan yang biasanya memaksaku untuk pindah kota.
Lalu, apakah Tuhan Yesus pernah homesick? Awalnya aku berpikir bahwa pertanyaan ini tidak valid. Toh, Dia tidak pernah diceritakan berkuliah, bukan? Namun, menariknya, pembacaan renungan di Warungsatekamu edisi 4 Oktober 2025 membahas tentang Yesus yang bermigrasi ke Mesir bersama keluarganya (Mat. 2:13—15).
Matius 2:13—15 mengisahkan Yusuf yang diperintahkan untuk pindah ke Mesir demi keselamatan keluarganya. Kita melihat penyertaan Tuhan pada kisah ini, tetapi juga sebuah pengalaman “migrasi” yang dialami Yesus saat itu. Ia berpindah kota (bahkan negara) dan beradaptasi lagi dengan lingkungan yang baru. Sepertinya tidak terlalu jauh jika kita berpendapat bahwa Yesus pun pada derajat tertentu merasakan “homesick.”
Sepertinya menarik jika melihat kisah ini dari pengalaman homesick di atas. Bagaimana jika aku mengatakan bahwa Yesus pun pernah “bermigrasi” layaknya para maba yang hendak berkuliah? Hanya saja, Yesus bermigrasi dalam konteks yang berbeda.
Walaupun demikian, migrasi tetaplah migrasi. Yesus meninggalkan rumahnya untuk mengungsi di tempat lain. Mirip dengan para mahasiswa yang meninggalkan rumahnya untuk studi di sebuah kampus. Bagi mahasiswa teologi di SAAT ini berarti meninggalkan rumah dan hidup di asrama.
Jika Yesus pernah bermigrasi selayaknya aku dan mereka yang sedang studi di luar kota, maka bukankah Dia punya pengalaman “homesick”? Aku tidak tahu dengan pasti apakah Dia benar-benar homesick saat itu, Alkitab tidak menjelaskan dengan rinci. Namun, kita tahu bahwa Dia adalah manusia sejati dan Allah sejati. Dia bisa tahu pergumulan manusia yang paling dalam, bukan?
Berseru pada Yesus yang relate sama homesick-mu
Ketika aku masih menjadi mahasiswa tingkat satu, aku belum mendapatkan insight ini tentang Yesus yang bermigrasi. Aku belum bisa relate dengan Yesus dalam kondisi homesick yang aku rasakan dulu.
Kali ini, aku sadar bahwa Dia adalah Allah yang kepadanya aku bisa berseru. Berseru bahwa aku sedang tidak baik-baik saja, termasuk ketika aku sedang berkuliah. Maka, serukanlah seruanmu kepada Kristus, Allah-manusia itu.
Sepertinya menarik jika melihat kisah ini dari pengalaman homesick di atas. Bagaimana jika aku mengatakan bahwa Yesus pun pernah “bermigrasi” layaknya para maba yang hendak berkuliah? Hanya saja, Yesus bermigrasi dalam konteks yang berbeda.
Bima Anugerah
Dia tahu betul keinginanmu untuk kembali ke rumah, menikmati segala hal baik yang ada di sana. Dia tahu betul bahwa kamu bergumul berat untuk beradaptasi di lingkungan yang baru. Dia tahu betul bahwa kamu tidak tahan dengan tantangan perkuliahan yang berbeda dari jenjang SMA.
Maka, berserulah kepada Kristus yang pernah hidup di luar kota itu! Berserulah kepada Dia yang juga pernah pindah rumah, sebab Dia adalah Allah yang memahami homesick-mu itu.
Bukankah ini kebenaran yang menguatkan? Kamu tidak sendirian bergumul dalam adaptasi di kampus yang baru. Apalagi bagi kita yang menjawab panggilan Tuhan untuk dididik di sekolah teologi, kita tidak ditinggal sendirian sama Tuhan yang telah memanggil kita. Pertanyaannya, sudahkah kita berseru kepada-Nya?