Reformasi yang Mengulurkan Tangan: Sisi Diakonal Martin Luther

Merayakan Reformasi Protestan
Mulai

Reformasi Protestan (1517) sering dikenang sebagai peristiwa sejarah yang menceritakan perlawanan Martin Luther terhadap ajaran dan otoritas Gereja Katolik Roma di akhir abad pertengahan. Sebagian orang kemudian menilainya sebagai upaya kembali pada kemurnian Alkitab, sebagian lain menafsirkannya sebagai titik awal perpecahan besar dalam Kekristenan Barat. Namun, di balik itu semua, Reformasi ternyata memiliki latar belakang pergumulan sosial yang tidak kalah meresahkan.

Carter Lindberg, seorang sejarawan Kristen menuliskan bahwa pada penghujung abad pertengahan, kemiskinan menyelimuti kota-kota di Eropa. Sekitar 30–75 persen penduduk hidup dalam kekurangan. Ironisnya, bagi banyak orang Kristen pada masa itu, kemiskinan dianggap sebagai “berkat” yang bersamaan dengan tindakan memberi sedekah dipandang sebagai kesalehan untuk memperoleh keselamatan.

Sayangnya, gereja justru mengambil kesempatan dari kondisi ini dengan menjadikan kaum miskin sebagai objek manipulasi.[1] Menentang pandangan dan praktik tersebut, Luther menegaskan bahwa keselamatan semata-mata diperoleh karena kasih karunia Allah (sola gratia) dan hanya oleh iman (sola fide). Justru, karena telah diubahkan oleh Allah, setiap orang percaya dipanggil untuk mewujudkan kasih secara nyata dengan menolong yang miskin, melawan keserakahan, dan memperjuangkan keadilan.

Untuk menelusuri gagasan Luther tentang kasih kepada sesama, tulisan ini akan membahasnya dari dua aspek utama: (1) dasar pemikiran teologis Luther; dan (2) kontribusi praktis Luther yang memberikan semangat Reformasi Protestan sebuah wajah diakonal. 

Martin Luther dan Dasar Pemikiran Teologisnya

Reformasi yang Mengulurkan Tangan: Sisi Diakonal Martin Luther Kontributor Martin Luther,Protestan,sisi diakonal martin luther – Bima Anugerah, Mahasiswa Teologi STT SAAT

Masalah Ekonomi: Cermin Ketamakan Manusia

Dalam salah satu risalahnya, Trade and Usury (1524), Luther menyuarakan kritik keras terhadap praktik perdagangan curang dan riba yang marak pada saat itu. Baginya, harga yang mencekik dan jurang kesenjangan sosial bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan cermin ketamakan manusia berdosa.

Ia menolak riba, bahkan jika dalihnya untuk mendukung pelayanan gereja. Dengan mengutip Yesaya 61:8 dan kemungkinan nasihat hikmat dari Tobit 4:7—“Give alms of that which is thine”—Luther menegaskan: “To serve God is to keep His commandment and not steal, rob, take increase, but give and lend to the needy.”  Bagi Luther, melayani Allah berarti menaati perintah-Nya dengan memperjuangkan keadilan dan memberi dengan kemurahan hati, bukan dengan memperkaya diri dan menindas sesama.[2]

Masalah Kebebasan: Paradoks

Dalam The Freedom of A Christian (1520), Luther memperkenalkan sebuah paradoks yang hingga hari ini cukup dikenal: “A Christian is a free master over all things and subject to no one; a Christian is a servant of all and subject to everyone.” Artinya, kebebasan Kristen yang sejati bukanlah lisensi untuk berpuas diri dalam individualisme, melainkan kebebasan yang justru memampukan ia menjadi pelayan bagi sesamanya.

Dengan kata lain, iman membebaskan orang dari ikatan dosa dan hukum, tetapi kebebasan itu segera diwujudkan dalam pelayanan yang nyata kepada orang lain, “in his wants and for his betterment.” Seorang pakar Reformasi Protestan dan studi tentang Martin Luther bernama Heiko Oberman kemudian menyimpulkan bahwa Luther telah “menghorizontalisasi” etika Kristen.[3]

Reformasi yang Mengulurkan Tangan: Sisi Diakonal Martin Luther Kontributor Martin Luther,Protestan,sisi diakonal martin luther – Bima Anugerah, Mahasiswa Teologi STT SAAT
Paus Leo X adalah paus yang berkuasa pada masa Reformasi Protestan 1517

Masalah Keadilan: Vokasi dan Karya Allah

Melalui tafsirannya atas Mazmur 82 (1530), Luther memperluas visi diakonalnya dengan menegaskan peran aktif otoritas publik (para pangeran/Landesherrn, konsili kota, dan lembaga sipil) dalam menegakkan keadilan. Baginya, mereka tidak boleh bersikap netral terhadap ketidakadilan.

Ia menulis: “The second virtue of a prince is to help the poor, the orphans, and the widows to justice, and to further their cause” dan bahkan menegaskan dengan pernyataan yang terkesan exaggarating bagi telinga kita hari  ini: “In a word, after the Gospel, or spiritual office, there is on earth no better jewel, no greater treasure, no richer alms, no fairer endowment, no finer possession than a ruler who makes and preserves just laws. Such men are rightly called gods.”[4]

Pernyataan ini bukan sekadar pujian terhadap upaya manusia, Luther melihat bahwa di balik setiap upaya untuk menghadirkan keadilan ada pekerjaan Allah yang hadir melalui vokasi yang termasuk di dalamnya adalah panggilan setiap komunitas dalam penataan struktur sosial. Luther membayangkan tatanan Kristen yang ideal sebagai “a heavenly and divine hospital” di mana setiap orang di dalam komunitas tersebut menerima makanan dan penghidupan yang layak.[5]

Martin Luther dan Kontribusi Praktisnya

Pendidikan

Di akhir abad pertengahan, pendidikan dikendalikan oleh sekolah katedral dan biara. Aksesnya terbatas hanya bagi calon imam, biarawan, atau profesi elit dalam bidang hukum dan kedokteran, sementara rakyat jelata dianggap tidak perlu untuk belajar. Sistem ini memperlebar kesenjangan sosial. Namun, bagi Luther, melayani Allah dan sesama justru memerlukan masyarakat yang terdidik. Karena itu, ia menolak monopoli pendidikan oleh gereja atau kaum kelas atas.

Dalam Address to the Christian Nobility (1520), ia menyerukan pendidikan universal, baik bagi anak laki-laki maupun perempuan. Seruan ini dipertegas dalam risalah To the Councilmen of All Cities in Germany That They Establish and Maintain Christian Schools (1524), yang menuntut pemerintah kota mendukung dan mendirikan sekolah yang terbuka bagi kalangan umum.

Dengan pendidikan, umat Kristen diperlengkapi untuk mengasihi Allah dengan pengetahuan, sekaligus melayani sesama dalam berbagai bidang kehidupan. Lindberg mencatat bahwa visi ini membuka jalan pendidikan bagi kalangan umum sebagai bagian integral dari reformasi sosial yang secara tersirat sedang terjadi pada saat itu.[6]

The Common Chest

Salah satu warisan diakonal Luther yang paling nyata adalah penyediaan common chest (kas bersama yang disediakan gereja kota untuk menopang para janda, yatim, lansia, dan kaum miskin). Dalam sebuah khotbah yang mendorong penyediaan common chest Luther berkata: “Christians are to serve one another by ministering temporal blessings… the churches should establish common treasuries for the purpose of providing alms.”[7]

Praktik ini kemudian diinstisusikan melalui Ordinance of Leisnig (1523) yang di dalamnya Luther memberikan arahan langsung dan spesifik terkait penyediaan common chest kepada pejabat terpilih di kota Leisnig. Ia menulis: “Now there is no greater service of God (Gottesdienst) than Christian love which helps and serves the needy, as Christ Himself will judge at the Last Day.”[8] Apa yang mendasari semua ini? Luther memahami bahwa, secara inkarnatif, Gottesdienst tidak hanya berarti “pelayanan umat kepada Allah,” tetapi juga “pelayanan Allah kepada umat” yang diwujudkan melalui tindakan diakonal dari orang Kristen kepada sesamanya.[9]

Penutup: Pada Fajar Reformasi

Bagi Luther, perbuatan baik seperti kasih kepada sesama bukanlah cara untuk memperoleh keselamatan, melainkan buah tak tergantikan dari pertobatan dan iman yang bajik, sehingga itu menjadi suatu keniscayaan bagi setiap orang percaya.

Siapa sangka, sejak awal Reformasi perhatian Luther terhadap panggilan diakonal dapat ditelusuri dalam 95 dalilnya. Pada dalil pertama, ia menulis: “Our Lord and Master Jesus Christ, in saying do penance wanted the entire life of the faithful to be one of penitence.” Tentu saja, ini merupakan seruan pertobatan yang menyoroti penyalahgunaan praktik indulgensi dan tidak secara eksplisit membahas soal diakonia. Namun, beberapa dalil berikutnya mulai menunjukkan wajah diakonal dari sang reformator.

Dalil ke-43 berisi demikian: Christians are to be taught that the one who gives to a poor person or lends to the needy does a better deed than if a person acquires indulgences.” Kemudian dalil ke-45 mempertajam lagi: Christians are to be taught that anyone who sees a destitute person and, while passing such a one by, gives money for indulgences does not buy indulgences of the pope but God’s wrath.”[10]

Reformasi yang Mengulurkan Tangan: Sisi Diakonal Martin Luther Kontributor Martin Luther,Protestan,sisi diakonal martin luther – Bima Anugerah, Mahasiswa Teologi STT SAAT

Kutipan-kutipan ini menyingkapkan dua hal: pertama, perhatian terhadap masalah sosial sudah muncul secara bertahap dalam pemikiran Luther, meski bukan tujuan utama dari 95 dalilnya; kedua, salah satu implikasi dari kesetiaan pada pertobatan adalah mewujudnya kasih yang menjangkau sesama (from metanoia to diakonia).

Meskipun sejarah membuktikan bahwa Luther pernah bersikap keras terhadap para petani miskin yang melakukan pemberontakan selama German Peasants’ War (1524–1525)—sebuah reaksi yang sangat dipengaruhi oleh konteks abad pertengahan—ia menegaskan satu prinsip yang senantiasa relevan bagi kita hingga hari ini. Bagi Luther, perbuatan baik seperti kasih kepada sesama bukanlah cara untuk memperoleh keselamatan, melainkan buah tak tergantikan dari pertobatan dan iman yang bajik, sehingga itu menjadi suatu keniscayaan bagi setiap orang percaya.

Reformasi yang digagasnya memang belum sempurna, tetapi di dalamnya terdapat kepingan-kepingan yang menunjukkan wajah diakonal sang reformator atau bahkan Reformasi itu sendiri. Dalam hal ini, Luther mengusulkan reformasi yang bersifat karitatif, inkarnatif, dan—jika meminjam istilah dari Oberman—horizontal.

Implikasinya tampak ketika gereja, dengan semangat Reformasi, menata kembali jejaring relasinya sebagai anggota keluarga, profesional, warga masyarakat, maupun pemimpin publik yang mewujudkan kasih yang memberi, melayani, dan memperjuangkan keadilan bagi sesama sebagai imamat semua orang percaya. Itulah warisan diakonal Luther sejak fajar Reformasi.

Catatan Kaki

[1] Carter Lindberg, The European Reformations (Malden: Blackwell Publishing, 1996), bab 5.

[2] Martin Luther dan Theodore G. Tappert, Selected Writings of Martin Luther, Fortress Press 2007 ed (Minneapolis: Fortress, 2007), 73, 79, 146.

[3] Heiko Augustinus Oberman, Luther: Man Between God and the Devil (New York: Image Books, 1992), 78, 80. Oberman menulis, “Luther horizontalized Christian ethics: he transferred its goal from Heaven to earth.

[4] Martin Luther, Luther’s Works, Volume 13, ed. Jaroslav Jan Pelikan (Saint Louis: Concordia Publishing House, 1956), 52–53.

[5] Antti Raunio, “Luther’s Social Theology in the Contemporary World: Searching for the Neighbor’s Good,” dalam The Global Luther: A Theologian for Modern Times, ed. Christine Helmer (Minneapolis: Fortress, 2009), 226–227.

[6] Lindberg, The European Reformations, bab 5.

[7] Martin Luther dan Hugh T. Kerr, A Compend of Luther’s Theology (Philadelphia: The Westminster Press, 1943), 182–183.

[8] Lindberg, The European Reformations, bab 5; Martin Luther, “Luther’s Works. 45: The Christian in Society: 2,” ed. Jaroslav Pelikan dan Helmut T. Lehmann, American ed (Saint Louis: Concordia Publishing House, 1962), 172.

[9] Luther dan Kerr, A Compend of Luther’s Theology, 183. Istilah Gottesdienst memang memiliki makna yang sengaja diartikan secara ganda dalam teologi Lutheran. Gottesdienst dapat berarti ibadah sebagai respons yang diberikan oleh umat beriman kepada Allah melalui nyanyian, doa, dan persembahan. Namun, makna yang lebih sering ditekankan adalah Gottesdienst sebagai “pelayanan Allah kepada umat” karena dalam ibadah, Allah melayani umat dengan memberikan rahmat-Nya melalui Firman dan Sakramen.

[10] Timothy J. Wengert dan Martin Luther, Martin Luther’s Ninety-Five Theses: With Introduction, Commentary, and Study Guide (Minneapolis: Fortress, 2015), 13, 20.

Daftar Pustaka

  • Lindberg, Carter. The European Reformations. Malden: Blackwell Publishing, 1996.
  • Luther, Martin. “Luther’s Works. 45: The Christian in Society: 2.” diedit oleh Jaroslav Pelikan dan Helmut T. Lehmann. American ed. Saint Louis: Concordia Publishing House, 1962.
  • ———. Luther’s Works, Volume 13. Diedit oleh Jaroslav Jan Pelikan. Saint Louis: Concordia Publishing House, 1956.
  • Luther, Martin, dan Hugh T. Kerr. A Compend of Luther’s Theology. Philadelphia: The Westminster Press, 1943.
  • Luther, Martin, dan Theodore G. Tappert. Selected Writings of Martin Luther. Fortress Press 2007 ed. Minneapolis: Fortress, 2007.
  • Oberman, Heiko Augustinus. Luther: Man Between God and the Devil. New York: Image Books, 1992.
  • Raunio, Antti. “Luther’s Social Theology in the Contemporary World: Searching for the Neighbor’s Good.” Dalam The Global Luther: A Theologian for Modern Times, diedit oleh Christine Helmer. Minneapolis: Fortress, 2009.
  • Wengert, Timothy J., dan Martin Luther. Martin Luther’s Ninety-Five Theses: With Introduction, Commentary, and Study Guide. Minneapolis: Fortress, 2015.

Tentang Penulis

Picture of alfredo.saerang

alfredo.saerang

Alfredo Vallentino Saerang

Mau share tulisan ini?

4.5 2 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments