Belakangan aku berpikir tentang keputusan-keputusan kehidupan yang aku buat. Tidak semuanya terpikirkan, hanya yang signifikan. Tidak mudah untuk mengambil keputusan dalam hidup. Apalagi jika keputusan yang diambil adalah sesuatu yang kelak disesali atau menghasilkan kehilangan. Inilah yang membawa aku untuk menulis tulisan ini, penuh kenangan dan refleksi. Semoga aku bisa menulisnya dengan jelas.
Sedikit latar belakang keputusan yang aku ambil. Beberapa waktu lalu, ada hal yang datang dalam hidupku dan menuntut responku. Entah itu dipertahankan atau ditahan untuk sementara waktu. Sebagai seorang INFJ-T, ada banyak idealisme yang ingin aku wujudkan secara bersamaan dalam pengambilan keputusan ini. Dengan segala pengetahuan yang aku miliki sebelumnya, aku memutuskan untuk menahan itu dibandingkan melanjutkannya. Alasannya sederhana, aku belum siap. Mungkin kalian bertanya-tanya apakah ini tentang seseorang? Atau tentang apa? Aku akan jawab seperti gaya temanku, “Ini terbuka buat penafsiran.”
Hampir dua bulan berlalu, aku masih belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan bahwa aku kehilangan. Aku tidak menyesal sebenarnya mengambil keputusan itu, tapi keputusan itu menghasilkan kehilangan. Inilah yang sering aku ratapi. Bukan berarti tidak ada penyesalan sama sekali, tapi penyesalan yang aku alami tidak signifikan (setidaknya ini yang aku dapatkan dalam sesi konseling). Aku lebih banyak merasa kehilangan, daripada menyesal. Apakah aku menyesal telah kehilangan? Mungkin (dan sering). Apakah kamu juga pernah mengalami hal yang sama?
Kehilangan...
Salah satu situs yang sangat membantu aku adalah Verywell Mind. Dalam salah satu artikel tentang penyesalan (How to Get Over Regrets and Move Forward), ada satu kutipan yang baik menurutku, “Remind yourself that people can only make decisions based on the information they have at the time. If you did the best you could with the knowledge you had, try not to beat yourself up about your decision.” Membaca tulisan ini seperti menyegarkan jiwaku. Ini wahyu umum yang Tuhan berikan kepadaku, untuk sekali lagi menerima hidupku yang tidak sempurna.
“Remind yourself that people can only make decisions based on the information they have at the time. If you did the best you could with the knowledge you had, try not to beat yourself up about your decision.”
How to Get Over Regrets and Move Forward - Verywell Mind
Ada banyak keputusan yang kita ambil berdasarkan pengetahuan kita saat itu. Kita tidak mahatahu seperti Tuhan, bukan? Kegagalan mengambil keputusan yang kita alami mengingatkan kita bahwa kita bukan Tuhan. Kita gagal mengetahui semua hal dan akhirnya memilih berdasarkan pengetahuan kita yang sempit. Bahkan, ketika kita sudah tahu semua kemungkinan yang bisa terjadi, kita paham betul masalah kita, kita tetap saja bisa gagal. Kamu tahu apa implikasinya? Kita butuh Tuhan.
Saat itu aku hanya memiliki pengetahuan yang sempit dan keputusan untuk melepas adalah hal terbaik yang bisa aku ambil saat itu. Kehilangan yang aku alami saat ini tidak membenarkan bahwa keputusanku sebelumnya adalah salah. Setidaknya beberapa orang dewasa yang aku tanyakan juga menunjukkan bahwa aku sudah mengambil keputusan yang tepat. Namun, tetap saja ada bagian yang aku tidak tahu. Aku tidak tahu kalau hasilnya akan semenyakitkan ini, bahwa aku harus merasakan kehilangan (sekali lagi).
Kita mengambil keputusan berdasarkan kemampuan terbaik kita saat itu. Ketika kita mempunyai pengetahuan, informasi, atau kemampuan yang lebih pada masa kini, kita tidak perlu menyalahkan diri kita pada masa lalu. Seharusnya, kita perlu lebih banyak berefleksi tentang usaha kita mengusahakan yang terbaik dalam pengambilan keputusan kita. Apakah kita melakukannya dengan hati-hati atau sembrono? Entah apapun jawabannya, kasihilah dirimu. Aku teringat lagu yang berjudul Diri dari Tulus,
Hari ini
Kau berdamai dengan dirimu sendiri
Kaumaafkan
Semua salahmu ampuni dirimuTulus
Kehilangan yang berpengharapan
Ingatlah, entah kita gagal atau tepat dalam mengambil keputusan, Tuhan dapat memakainya untuk kebaikan (Rm. 8:28; Kej. 50:20). Salib kutuk di zaman Romawi tidak pernah terpikirkan jadi lambang sebuah agama terbesar di dunia, bukan? Lewat Yesus Kristus, Allah menunjukkan bahwa keputusan manusia yang terburuk sekalipun (menyalibkan dan menolak Tuhan) dapat dijadikan-Nya pengharapan terbesar bagi umat manusia. Kegagalan saudara-saudara Yusuf untuk mengasihi Yusuf juga tidak menutup karya Allah pada mereka. Malahan Yusuf dapat berkata kalau dia diutus Tuhan untuk mendahului saudara-saudaranya ke Mesir (Kej. 45:5).
Selama masih ada Tuhan, kita tidak perlu terlalu menekan diri kita dengan kegagalan dalam mengambil keputusan hidup. Kita tidak mahatahu seperti Tuhan. Toh, ini semakin menujukkan bahwa kita ini manusia. Yang perlu kita refleksikan adalah respon kita selanjutnya terhadap kenyataan ini. Maukah kita melihat kepada Tuhan dan berserah pada-Nya?
Kehilangan adalah hal yang sangat menyakitkan Bim. Tapi melalui itu Tuhan bekerja luar biasa dan setelah melaluinya kita bisa melihat maksud Tuhan yang gak pernah kepikiran samsek dalam benak kita. Sama dengan pengambilan keputusan, entah orang berkata benar atau salah, atau kita menyesal atau tidak, tapi dalam keputusan kita, Tuhan terus bekerja dan membawa kebaikan. Semangat Bim!
Thank you buat refleksinya ci!