Ketika menjalani masa PKLDB (Praktik Kerja Lapangan Dua Bulan) di GKII Long Ampung, Kalimantan Utara, aku mendapatkan banyak kesempatan untuk berkhotbah. Dalam salah satu kesempatan, aku membawa khotbah dari surat Galatia tentang kebenaran dalam Kristus. Dari khotbah ini, muncul pertanyaan “Mau menyuap Allah?” yang jadi judul tulisan ini. Aku coba ceritakan sedikit.
Ketika ke Long Ampung, aku membawa buku “Menghidupi Injil dan Menginjili Hidup” karya Sen Sendjaya. Dari buku ini, aku mendapat perikop yang aku bawain di khotbah itu. Di Galatia 5:1-15, Paulus menegur dengan keras jemaat Galatia yang mencoba mendapatkan pembenaran (atau keselamatan) lewat apa yang mereka lakukan, yaitu sunat. Sunat tentu bukan hal yang salah, tetapi motivasi di balik melakukan sunat tersebut yang salah.
Emang apa motivasinya? Jemaat Galatia melakukan sunat agar diselamatkan Allah! Ternyata, jemaat Galatia ternyata sudah mempercayai Injil palsu (Gal. 1:6-7). Berbeda dari Paulus yang menekankan keselamatan karena anugerah di dalam Kristus dan bukan karena perbuatan baik (Ef. 2:8-9).
Jemaat Galatia sudah berpindah dari “keselamatan karena anugerah” menjadi “keselamatan karena perbuatan.” Untuk selamat harus melakukan sesuatu, yang dalam konteks Galatia adalah sunat.
Siapa Allah dan siapa kita?
Dari perenungan bagian firman Tuhan ini, muncullah dalam pikiranku, “Kok bisa kepikiran ya jemaat Galatia mau menyuap Allah?” Kata “menyuap” ini langsung aku identikkan dengan para kriminal berdasi yang biasa menyuap pejabat pemerintah untuk melakukan tindak kejahatan.
“Hah! Masa Allah disamain sama para penjahat itu! Serendah itukah Allah!?” Namun, inilah kenyataan yang terjadi di jemaat Galatia dan mungkin kita hari ini yang masih mau mencari keselamatan dari usaha kita sendiri. Kita membuat Allah seperti para penjahat berdasi itu yang mau disuap. Kok Allah mau disuap manusia?
Padahal, Allah Tritunggal itu bukan seperti seorang manusia yang kekurangan apa-apa sehingga ia membutuhkan sesuatu. Dia tidak miskin. Dia tidak kurang kuasa. Dia tidak kurang mulia.
Ngapain Allah minta-minta perbuatan baik kita? Ngapain Allah kayak jualan tiket masuk surga yang dibayar pake perbuatan baik? Ga ada kerjaan kah Allah kita itu? Alam semesta aja Dia yang ciptain, Allah tidak kekurangan apa-apa.
Westminster dan Heidelberg?
Mari kita lihat pengajaran Alkitab melalui dua dokumen iman Kristen, Pengakuan Iman Westminster dan Katekismus Heidelberg. Dua dokumen iman Kristen ini adalah penjabaran akan pengajaran Alkitab. Di dalamnya memuat hal-hal esensial terkait iman Kristen, termasuk keselamatan.
We cannot, by our best works, merit pardon of sin, or eternal life, at the hand of God, because of the great disproportion that is between them and the glory to come, and the infinite distance that is between us and God, whom by them we can neither profit, nor satisfy for the debt of our former sins; but when we have done all we can, we have done but our duty, and are unprofitable servants: and because, as they are good, they proceed from His Spirit; and as they are wrought by us, they are defiled and mixed with so much weakness and imperfection that they cannot endure the severity of God’s judgment.
Westminster Confession of Faith XVI.5
Kita tidak bisa mendapatkan imbalan berupa pengampunan dosa atau kehidupan kekal dari Allah melalui perbuatan kita yang terbaik sekalipun ... Dan karena perbuatan itu adalah baik, maka perbuatan-perbuatan itu berasal dari Roh-Nya; akan tetapi karena perbuatan-perbuatan itu dikerjakan oleh kita, perbuatan-perbuatan itu menjadi tercemar ... dengan begitu banyak kelemahan dan ketidaksempurnaan, sehingga perbuatan-perbuatan itu tidak akan bertahan dalam penghakiman Allah yang keras.
Pengakuan Iman Westminster XVI.5
Pengakuan Iman Westminster dengan jelas menunjukkan ketidakmampuan manusia untuk menyelamatkan dirinya sendiri melalui perbuatan baik. Boro-boro mau “menyuap” Allah, perbuatan baiknya keburu ditolak karena tercemar akibat dosa.
Perbuatan baiknya memang baik, tapi karena yang lakuin manusia berdosa jadi tercemar deh. Untuk selamat, manusia harus melakukan perbuatan baik secara sempurna di hadapan Allah, tanpa cacat cela. Untuk memahaminya lebih lanjut, yuk kita lihat Katekismus Heidelberg.
Because the righteousness which can pass God’s judgment must be entirely perfect and must in every way measure up to the divine law. But even our best works in this life are imperfect and stained with sin.
Heidelberg Catechism Q&A 62 - Why can’t our good works be our righteousness before God, or at least a part of our righteousness?
Karena kebenaran yang dapat bertahan di hadapan pengadilan Allah harus sungguh-sungguh sempurna dan dalam segala hal sesuai dengan hukum Allah (Gal. 3:10), dan karena perbuatan kita yang terbaik pun dalam hidup ini tidak sempurna dan tercemar oleh karena dosa (Yes. 64:6).
Katekismus Heidelberg Q&A 62 - Tetapi, apa sebabnya perbuatan baik kita tidak dapat menjadi kebenaran kita di hadapan Allah, biarpun untuk sebagian saja?
Katekismus Heidelberg menuliskan bahwa untuk perbuatan baik bisa menyenangkan Allah, perbuatan baik itu harus “sungguh-sungguh sempurna.” Nah, masalahnya, perbuatan baik manusia yang terbaik seumpama kain kotor di hadapan Allah (Yes. 64:6).
Lalu, apakah orang di luar Kristus dapat berbuat baik dan diselamatkan? Dari dua tulisan di atas jawabannya tentu tidak bisa. Teman-teman bisa perhatikan ayat firman Tuhannya juga yang dikutip kedua tulisan tersebut.
Katekismus Heidelberg sepakat dengan Pengakuan Iman Westminster bahwa perbuatan manusia mutlak tidak dapat menyelamatkan manusia dari dosa. Sekali lagi, gimana mungkin perbuatan baik dapat dipakai “menyuap” Allah untuk keselamatan?
Mengapa orang baik tidak selamat?
Simply, karena perbuatan baiknya tidak dianggap baik oleh Tuhan. Sekali lagi, karena perbuatan baiknya sudah tercemar dengan dosa. Seringkali kita menganggap sesuatu “baik” padahal belum tentu itu “baik” di mata Tuhan.
Kita sedang “perang” definisi kebaikan di sini. Sayangnya, kita sering mengabaikan definisi Tuhan dengan mengutamakan definisi kita. Padahal, Tuhan sendiri yang seharusnya menjadi kebenaran ultimat dalam hidup kita.
Kalau mau fair dan konsisten, mengapa Yesus yang sempurna tanpa dosa harus dihukum? Kalau mau konsisten dengan “keselamatan karena perbuatan baik,” seharusnya Yesus-lah satu-satunya manusia yang selamat, bahkan selamat dari salib! Namun, kenyataannya tidak demikian kan?
Dari pengorbanan Yesus, kita bisa melihat bahwa definisi kebaikan Allah dan manusia berbeda. Malahan dari kematian Kristus karena ketidakadilan, muncul pengharapan keselamatan yang tidak terbinasakan itu!
Lalu, keselamatan ada di mana?
Alih-alih “menyuap” Allah, keselamatan itu tidak perlu transaksi apa pun untuk didapatkan. Pun, keselamatan tidak terbatas pada lokasi tertentu sehingga kita perlu bertanya, “Di manakah keselamatan itu?”
Keselamatan hanya ada di dalam iman kepada Yesus Kristus. Iman yang percaya pada Kristus bahwa Dia-lah satu-satunya Tuhan dan Juruselamat dari dosa. Percaya pada Yesus Kristus dan bertobatlah dari dosa-dosa kita, itulah keselamatan sejati. So, masih mau menyuap Allah?