Jika menurutmu buku teologi identik dengan buku yang tebal, susah dipahami, dan kata-kata yang tinggi, maka kamu perlu membaca buku yang akan aku bahas kali ini. “Tukang Cerita Selamat,” begitu judulnya. Ini buku apa? Judulnya kok ga “teologi” banget? Inilah keunggulan buku ini. Sederhana, tapi mendalam. Teologis, tapi tidak bikin pusing.
Buku ini ditulis oleh seorang Pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI). Beliau bernama Andar Ismail. Basis pelayanan terakhir beliau adalah di GKI Samanhudi, tempat praktikku saat ini. Walaupun demikian, aku belum pernah bertemu langsung dengan beliau. Sedihnya, beliau sudah berpulang ke surga pada tanggal 25 Agustus 2024.
Andar Ismail memang sudah tiada, tetapi pemikirannya tetap hidup melalui tulisan-tulisannya. Salah satunya adalah Tukang Cerita Selamat yang aku baca ini. Karena buku ini tidak memiliki satu tema sama yang dibahas, melainkan kumpulan renungan-renungan singkat, aku akan membagikan 3 renungan yang menarik untukku.
1. Renungan 16: Jadi Orang Gede karena Cerita Anak Kecil
Sebelum membaca renungan 16 ini, aku tidak terlalu menganggap penting cerita anak kecil. Entah apa pun bentuknya (dongeng, fabel, cerpen, dll.), aku tidak menaruh banyak perhatian pada bentuk tulisan yang demikian. Memikirkannya saja jarang, apalagi menghubungkannya dengan teologi! Aku tidak pernah membayangkan hubungan keduanya.
Namun, Ismail menunjukkan hal yang sebaliknya buatku. Ternyata cerita anak kecil adalah media yang sangat efektif untuk mengajar orang Kristen. Dina Tuasuun (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI) menyatakan bahwa Ismail secara ampuh menggunakan dongeng untuk mengajarkan pokok iman Kristen.
Dalam buku Tukang Cerita Selamat ini pun, cerita-cerita anak kecil sering dituturkan. Menariknya, walaupun sederhana, makna teologis yang mendalam dapat tersampaikan dengan baik. Misalkan saja, di renungan 16 ini, Ismail menunjukkan bahwa anak kecil itu tampil apa adanya. Mereka mau diatur, diajarkan, diperintah, dan nurut.
Lihat alurnya: cerita anak kecil –> anak kecil –> apa artinya menjadi anak kecil –> pengajaran Yesus tentang Kerajaan Allah dan anak kecil di Lukas 18:17. Artinya, mengajarkan Injil tidak selamanya harus menggunakan buku-buku teologi yang “berat-berat.” Ismail menunjukkan, pengajaran yang mendalam pun bisa disampaikan dengan metode-metode yang sederhana.
2. Renungan 26: Gereja yang Minta Dikasihani
Orang Kristen kalau berdoa minta supaya diberkati Tuhan. Namun, apa artinya “diberkati” Tuhan? Apakah artinya kaya, punya banyak duit? Apakah artinya hidupnya tidak ada masalah? Atau apa?
Ismail membawa pembacanya untuk kembali mengingat kata-kata Tuhan Yesus. Orang yang diberkati Tuhan adalah yang memberi (Mat. 5:3-11). Ismail menuliskan, “Lihat perbedaannya yang mencolok. Menurut pendapat umum, orang yang diberkati adalah yang punya ini-itu. Padahal, menurut Yesus, orang yang diberkati adalah yang memberi ini-itu, yakni memberi sikap lembut, damai, dan suci.”
Setelah itu, Ismail membagikan pengalamannya memberkati kapal ketika ia ada di Belanda. Memberkati kapal? Untuk apa? Dari pengalaman itu, Ismail menarik pesan, “Tidak ada bidang kehidupan yang tidak memerlukan berkat Tuhan.” Meminta berkat Tuhan ternyata sesederhana mengakui bahwa kita tidak sanggup tanpa campur tangan Allah.
“Lihat perbedaannya yang mencolok. Menurut pendapat umum, orang yang diberkati adalah yang punya ini-itu. Padahal, menurut Yesus, orang yang diberkati adalah yang memberi ini-itu, yakni memberi sikap lembut, damai, dan suci.”
Andar Ismail
Kita adalah orang-orang yang minta dikasihani. Ismail menutup renungan ini dengan lirik dari KJ. 42, “Tuhan, kasihani. Kristus, kasihani. Tuhan, kasihani kami.” Ternyata, berdoa meminta berkat dari Tuhan bukan tentang apa yang kita terima. Melainkan, sebuah pengakuan ketidaksanggupan kita di hadapan Dia, yang sanggup melakukan segala sesuatu.
3. Renungan 19: Satu Yesus, Empat Rupa Cerita
Pada renungan 19, Ismail membawa pembacanya memikirkan kenapa ada empat Injil dalam Alkitab: Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Pertanyaan sederhana yang mungkin jarang dibahas di gereja.
Untuk menjelaskan pertanyaan ini, Ismail menggunakan ilustrasi wartawan. Jika ada beberapa wartawan yang meliput satu kejadian, apakah hasil liputan mereka akan sama persis? Tentu, jawabannya tidak. Sebab, setiap wartawan memiliki keunikan mereka sendiri dalam meliput berita tertentu. Maka, unsur subjektif adalah hal yang penting untuk memberikan aroma khas dalam tulisan tersebut.
Lalu mengapa harus ada empat Injil? Ismail menuliskan, “Keempat pengarang itu memang beda sudut pandang dan beda kualitas pandang. Perbedaan itu saling melengkapi dan saling memperkaya gambaran mereka tentang Yesus.”
Keempat Injil yang kita miliki sekarang adalah sebuah kekayaan rohani yang membuat orang percaya bisa mengenal Kristus dengan lebih indah. Keempat Injil bukan cuma “nebal-nebalin” Alkitab, tetapi membawa orang percaya untuk mengenal Kristus dari berbagai perspektif yang ada.
Mendalam, tapi tidak bikin pusing. Paradoks tulisan Andar Ismail.
Dari ketiga poin di atas, dapat dilihat betapa Ismail dapat membawa hal-hal teologis yang “berat” dalam sesuatu yang “ringan.” Aku bisa mendapati itu secara konsisten dalam buku ini. Semuanya dikemas dengan ringan agar mudah dipahami. Pemahaman-pemahaman teologis yang biasa aku dapat di kelas-kelas kuliah bisa dijelaskan di buku ini dengan baik. Sampai-sampai aku berpikir, “Loh, kok bisa dijelaskan semudah ini sih!”
Akhir kata, Ismail menggunakan kepiawaiannya menulis untuk mengajarkan orang percaya. Aku harap kelak, aku pun bisa meneruskan apa yang sudah dilakukan beliau. Menulis untuk mengajar.
Harus baca buku ini?
Aku pikir buku ini sangat cocok buat kalian yang ingin belajar iman Kristen. Buku ini mudah dibaca, tetapi mendalam. Buku ini 10/10 untuk level kemudahan membacanya (1 = sulit, 10 = mudah) dan 4/5 sebagai rating keseluruhan buku ini!