Belajar dari Jonathan Edwards: Pendeta dan Pemikir Hebat

Ulasan Buku "A God-Entranced Vision of All Things"
Mulai

Beberapa bulan terakhir aku memulai untuk membaca buku secara teratur lagi. Wajar, selama di ladang praktik, waktu banyak dipakai untuk mempersiapkan pelayanan. Padahal, penting juga untuk terus mengasah kemampuan berpikir melalui membaca buku-buku, khususnya yang tidak termasuk dalam persiapan pelayanan (seperti tafsiran).

Kali ini membacanya pun aku pakai strategi full power. Artinya, aku bukan hanya membaca sepintas, melainkan membaca sambil menulis apa yang aku baca. Strategi ini sudah aku bahas di video YouTube-ku. Silahkan dicek!

Memang, membaca sambil menulis seperti itu memakan waktu 2x lipat dibandingkan dengan hanya membacanya saja. Namun, apa yang aku dapat juga 2x lipat lebih banyak dan “awet” karena isi bacaannya bisa aku pahami dengan matang.

Buku yang aku baca adalah sebuah buku elektronik gratis dari John Piper, judulnya “A God-Entranced Vision of All Things.” Buku ini bisa kalian dapatkan secara gratis di situs desiringgod.org. Buku ini berjenis bunga rampai, yang ditulis pada tahun 2004 untuk memperingati 300 tahun Jonathan Edwards pada (1703-2003). Isinya berkaitan dengan karya dan pelayanan Edwards yang terkenal dengan “Great Awakening” yang terjadi pada masa pelayanannya.

Maka dari itu, aku ingin membagikan beberapa hal menarik dari pembacaan buku ini. Aku juga berencana membuat segmen khusus di blog dan kanal YouTube-ku yang berjudul “#BimaBahasBuku.” Isinya pembahasan buku-buku yang aku baca! Oh iya, aku juga sudah mulai membagikan pembacaan bukuku di broadcast channel Instagram-ku ya, silahkan dicek!

1. Memaknai Apa Artinya "Memuliakan Tuhan"

Belajar dari Jonathan Edwards: Pendeta dan Pemikir Hebat #BimaBahasBuku, Devotion jonathan edwards – Bima Anugerah, Mahasiswa Teologi STT SAAT

Salah satu pengajaran penting dalam iman Kristen adalah tentang “kemuliaan Tuhan.” Dalam tradisi Reformed, Katekismus Singkat Westminster juga mengajarkan bahwa tujuan utama manusia adalah untuk “memuliakan Tuhan.” Artinya, Tuhan adalah satu-satunya yang harus dimuliakan di dalam kehidupan manusia.

Question 1: What is the chief end of man? Answer: Man’s chief end is to glorify God, and to enjoy him forever.

Namun, apa maksud dari “memuliakan Tuhan”? Apakah Tuhan menciptakan manusia untuk kemuliaan-Nya, sebagaimana yang dipertahankan teologi Reformed, atau Tuhan menciptakan manusia agar manusia bisa bahagia di dalam Tuhan, sebagaimana yang dipegang kelompok Arminian dan Deists? Menariknya, Jonathan Edwards melihat bahwa keduanya adalah sama-sama benar. Untuk memahaminya, kutipan dari salah satu anak Jonathan Edwards dapat menolong kita:

"It was said that, as God is a benevolent being . . . he could not but form creatures for the purpose of making them happy. Many passages of Scripture were quoted in support of this opinion. On the other hand, numerous and very explicit declarations of Scripture were produced to prove that God made all things for his own glory. Mr. Edwards was the first, who clearly showed, that both these were the ultimate end of the creation . . . and that they are really one and the same thing."

Sederhananya, Tuhan paling dimuliakan ketika kita berbahagia dan paling puas di dalam Dia. J. I. Packer dalam bab 4 menjelaskan, We reach our highest enjoyment of God in and by glorifying him, and we glorify him supremely in and by enjoying him. In fact, we enjoy him most when we glorify him most, and vice versa.

Ketika kita melayani Tuhan dalam hidup ini, apakah kita merasa bahagia? Ketika kita menjadi Kristen, apakah kita merasa bahagia dan dipuaskan? Apakah kenyataan bahwa Kristus telah mati dan bangkit untuk menebus manusia dari dosa membawa kesukaan besar dalam hidup ini? Jika kamu setuju dengan pertanyaan-pertanyaan ini, maka itulah artinya “memuliakan Tuhan.”

Mengapa pemikiran Edwards ini menarik? Menurutku, pemikiran Edwards menarik karena Edwards dapat menghubungkan antara “kebahagiaan” dan “kemuliaan Tuhan.” Alih-alih memakanai iman Kristen dalam kaitannya dengan penderitaan dan kemurungan, Edwards melihat iman Kristen sebagai kesukaan.

Tentu, iman Kristen mengharuskan kita menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Kristus. Kristus pun selama di dunia juga menderita demi taat kepada Bapa. Namun, itu semua seharusnya tidak menggugurkan sukacita kita sebagai pengikut Kristus. Sebab, kita tahu bahwa mengikut Kristus adalah kebahagiaan terbesar di dunia. 

Inilah hal yang perlu kita miliki saat ini sebagai pengikut Kristus. Apakah kebahagiaan menjadi hal yang kita rasakan sebagai pengikut Kristus? Di dalam pergumulan di dunia, kiranya kita terus berdoa agar sukacita itu tetap nyata di dalam hati kita. Dalam pertolongan Roh Kudus, kiranya api sukacita itu terus membakar hati kita bagi Tuhan.

2. Kekayaan Disiplin Rohani dari Jonathan Edwards

Belajar dari Jonathan Edwards: Pendeta dan Pemikir Hebat #BimaBahasBuku, Devotion jonathan edwards – Bima Anugerah, Mahasiswa Teologi STT SAAT

Sebelum aku membaca buku ini, perlu diakui aku kurang memaknai disiplin rohani. Pembacaanku terhadap buku ini, khususnya ide dari Edwards yang dituliskan ulang oleh penulis-penulis ini, membuat aku kembali memikirkan pentingnya disiplin rohani dalam hidupku.

Bagian disiplin rohani Edwards ada di bab 5 buku ini, ditulis oleh Donald S. Whitney. Tujuan dari disiplin rohani adalah untuk menuju “Christlikeness.” Setidaknya ada beberapa disiplin rohani yang dituliskan di bab 5 ini:

  1. Bible Intake (Membaca Alkitab)
  2. Prayer (Doa)
  3. Private Worship (Ibadah Pribadi)
  4. Solitude (Saat teduh)
  5. Fasting (Berpuasa)
    • Puasa adalah salah satu hal yang mulai aku rutinkan setelah membaca bagian ini
  6. Journal-Keeping (Menulis jurnal)
  7. Learning (Belajar)
    • Ternyata belajar, seperti membaca buku, bisa menjadi disiplin rohani.
  8. Stewardship of Time (Mengatur waktu)

Kedelapan disiplin rohani di atas menolong aku untuk hidup serupa Kristus. Buat teman-teman yang membaca tulisan ini, bagaimana kehidupan rohani kalian? Apakah kalian sudah melakukan salah satu hal di atas? Atau bahkan belum sama sekali?

Tidak ada waktu terlambat untuk mencobanya. Bagi kalian yang mau mempelajari lebih lanjut tentang disiplin rohani ini, silahkan baca bab 5 buku ini dengan judul, “Pursuing a Passion for God through Spiritual Disciplines: Learning from Jonathan Edwards (Donald S. Whitney).”

3. Edwards Bukan Tanpa Cela

Buku ini tidak buta dengan satu kenyataan pahit pada abad ke-18 di Amerika Serikat, perbudakan. Isu Edwards dan kepemilikan budaknya dapat dibaca di bab 7 yang berjudul, “Trusting the Theology of a Slave Owner.” Bab 7 ini ditulis oleh Sherard Burns.

Kita sama-sama setuju bahwa perbudakan adalah hal yang tidak manusiawi. Namun, pada zaman Edwards, perbudakan adalah hal yang sangat wajar. Edwards pun turut serta memiliki budak, salah satunya bernama “Titus.”

Hal yang menarik dari pembacaanku bagian ini adalah ketika Edwards bahkan mau mengesampingkan pendirian teologisnya yang adalah Calvinist demi membela seorang pendeta Arminian yang sedang diserang oleh karena dia memiliki budak. Sebab, bagi Edwards, jika pendeta Arminian ini diserang, maka serangan itu juga akan mengarah kepadanya kelak karena mereka berdua sama-sama seorang pendeta.

Belajar dari Jonathan Edwards: Pendeta dan Pemikir Hebat #BimaBahasBuku, Devotion jonathan edwards – Bima Anugerah, Mahasiswa Teologi STT SAAT

Pertanyaannya, bagaimana seorang Edwards yang mencintai Tuhan dapat memiliki budak? Pertanyaan ini juga membuat aku bertanya-tanya. Bahkan, seorang Edwards yang pintar dan presisi dalam hal teologis bisa salah! Itulah kenyataannya. Burns memberikan pendapat yang baik mengenai hal ini.

“By asking how we give Edwards a hearing, I am thinking more of what kind of mental construct must be present in the minds of anyone who wants to understand Edwards in spite of his shortcomings. The only true answer to this question has manifold implications: we must embrace the sovereignty of God. The aim of this chapter is neither to exonerate Edwards nor to condemn him. The aim is to love his God. The God whom Edwards preached was the God of the Bible; he is sovereign over all things and events in the universe, even the sin of slavery.”

So, what?

Sehebat-hebatnya seorang pahlawan iman, dia tetaplah manusia. Dengan demikian, apa yang dikatakan Burn benar. Bukan Edwards yang seharusnya mendapat lampu sorot, melainkan Allah Tritunggal yang berdaulat. Dialah yang seharusnya menjadi pusat pemaknaan orang Kristen terhadap pahlawan-pahlawan iman seperti Edwards. Pada akhirnya, mereka semua adalah orang berdosa yang diselamatkan oleh anugerah Allah.

Setelah membaca buku ini, aku mendapat banyak insights. Tentu, masih banyak lagi yang bisa aku bagikan. Namun, ada baiknya jika kamu membaca bukunya langsung. Ingat, buku resminya gratis loh! Tidak ada lagi alasan untuk tidak membaca buku karena tidak punya uang buat beli buku. Kalau begitu, segera putar musik Bernardya dan mulai baca!

Harus baca buku ini?

Buku ini secara level kemudahan membaca sebenarnya ada di skala 6/10 (1 = sulit dan 10 = mudah). Ada beberapa bab yang membahas tentang pemikiran teologis Edwards yang perlu diakui sulit untuk dipahami.

Walaupun demikian, kekayaannya juga sangat bagus menurutku. Apalagi jika teman-teman ingin mengenal Jonathan Edwards. Aku memberikan rating 3.8/5 untuk buku ini. Apalagi buku ini gratis kan? Tunggu apa lagi!

My Rating: A God-Entranced Vision of All Things

Tentang Penulis

Picture of xperiencereal

xperiencereal

Bima Anugerah

Mau share tulisan ini?

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Baca Juga: Belajar dari Jonathan Edwards: Pendeta dan Pemikir Hebat […]