Rabu pagi hari ini adalah Rabu yang tenang. Rabu ini ingin ku pakai untuk beristirahat, tidak ada kegiatan yang mengejar aku. Pagi ini aku membeli belanjaan secara online melalui salah satu aplikasi. Aku pun turun dari kamar kost lantai 3 untuk mengambil belanjaan online di bawah. Belanjaan ini berisi sayuran dan bahan kebutuhan pokok yang aku beli mengingat beberapa bahan esensial sudah mau habis.
Di kost ini, tersedia 1 buah kulkas umum yang berada di lantai 1. Pikirku, aku ingin semua bahan belanjaan yang harus aku taruh di kulkas segera aku taruh saat itu juga agar tidak usah bolak-balik naik turun. Sebelum ku taruh di kulkas, aku ingin membawa wortel dan pakcoy yang ku beli untuk sarapan.
Setelah mengambil satu pakcoy, aku hendak mengambil wortel. “Hmm, kalo satu wortel ini aku bawa semuanya, kayaknya bakal kebanyakan. Gimana kalo aku bagi dua?” Saat itu tidak ada pisau karena posisinya ada di teras kost. Jalan sedikit sebenarnya sudah sampai di dapur umum, yang pasti ada alat potong di sana. Sekalipun tidak ada, aku masih bisa naik ke atas untuk mengambil pisau.
Namun, aku memilih untuk membelah sendiri wortel itu dengan kedua tanganku. “Aduh!” kataku. Ternyata, ada potongan wortel kecil yang menyayat masuk ke kuku jempol tangan kananku. Seketika aku langsung menyesal. Mengapa luka sayatan ini harus terjadi? Bukankah sangat bodoh dan jarang ada orang terluka karena wortel? Sayang sekali, akulah orang yang terluka karena wortel itu.
Pagi itu, aku sadar bahwa hidupku dipenuhi keburu-buruan. Memang setelah ku pikir-pikir, aku orangnya tidak sabaran. Padahal, aku bisa menunda memotong wortel itu dengan mencari pisau terlebih dahulu. Luka di jempol ini adalah hal yang seharusnya sama sekali tidak terjadi. Ini semua terjadi karena aku terburu-buru. Aku tidak sabar.
Kejadian sederhana ini mengajarkan pelajaran hidup yang mahal bagiku. Apakah aku hidup dalam ketergesa-gesaan? Apakah aku tidak bisa memperlambat tempo, bahkan di hari Rabu yang tenang itu? Aku merenungkan kejadian ini lebih dalam dan menemukan bahwa ini bukan sekadar wortel yang terpotong.
Ini menyangkut juga kehidupan yang aku jalani saat ini. Mempercayai proses dan sabar adalah dua hal yang sering aku abaikan, tergantikan dengan kata “instan.” Mie instan aja perlu 3 menit untuk direbus, masa kehidupan ingin instan? Aku sadar tidak ada yang instan. Mungkin, Tuhan pun tahu akan hal itu sehingga Ia banyak membuatku menunggu.
Saat kita merasa tergesa-gesa, kita ingat bahwa Tuhan tidak terburu-buru; ketika kita merasa tidak sabar, kita ingat bahwa Tuhan sedang bekerja.
"You're Only Human: How Your Limits Reflect God's Design and Why That's Good News" - Kelly Kapic
Aku teringat dengan kutipan dari Kelly Kapic yang diberikan oleh pendetaku di GKI Samanhudi. Kutipan itu berkata demikian, “Saat kita merasa tergesa-gesa, kita ingat bahwa Tuhan tidak terburu-buru; ketika kita merasa tidak sabar, kita ingat bahwa Tuhan sedang bekerja.”
Apakah kita sedang tidak sabar? Apakah kita sedang terburu-buru? Semoga dari kisahku ini, kita sadar bahwa seringkali terburu-buru dan tidak sabar hanya menghasilkan luka yang dalam. Luka yang kelak akan kita sesali sehingga kita berkata, “Andaikan saja aku bersabar sedikit lagi.”
Bapak rumah tangga sekali kamu, Bim!
Hahahaha hanya berusaha beradaptasi di dalam kondisi kehidupan yang berbeda